1. Home
  2. »
  3. Uncategorized
  4. »
  5. Cara Mengambil Daftar Pustaka dari Jurnal: 5 Panduan Lengkap untuk Mahasiswa

Cara Membuat Literatur Review yang Komprehensif dan Efektif

Pernah nggak sih kamu bingung, gimana sih sebenarnya cara membuat literatur review yang bener dan bisa bikin dosen langsung ngangguk setuju? Banyak mahasiswa mikir kalau review literatur itu cuma sekadar ngumpulin jurnal, dirangkum seadanya, terus beres. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks dari itu, bestie. Menulis review literatur atau dalam istilah lain riview literatur adalah fondasi penting dalam penelitian akademik. Dari sinilah kamu bisa nunjukkin kalau risetmu berdiri di atas pijakan yang kuat, bukan sekadar “coba-coba”.

Kenapa penting? Karena tanpa review literatur yang matang, penelitianmu bisa dianggap nggak relevan, kurang konteks, atau bahkan “asal-asalan”. Dengan kata lain, review literatur itu ibarat jembatan yang menghubungkan ide penelitianmu dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Makanya, kalau kamu bisa bikin bagian ini solid, skripsi atau tesis kamu bakal kelihatan lebih berbobot.

Nah, di artikel ini aku bakal kasih kamu panduan cara membuat literatur review yang gampang dipahami, terstruktur, dan pastinya bisa langsung dipraktikkan. Kita akan bahas mulai dari konsep dasar, teknik analisis, strategi sintesis, format penulisan, sampai tips jitu biar tulisanmu nggak cuma sekadar “review”, tapi juga benar-benar komprehensif.

1. Konsep Dasar-dasar Review Literatur yang Komprehensif

Sebelum langsung terjun ke teknis, kamu wajib paham dulu: apa sih sebenarnya review literatur itu? Singkatnya, review literatur adalah proses mengumpulkan, menyusun, dan menganalisis penelitian-penelitian sebelumnya terkait topik yang kamu pilih. Tujuannya? Supaya kamu bisa menyusun argumen yang lebih tajam, menemukan celah riset, dan menguatkan posisi penelitianmu di ranah akademik.

a. Menentukan Topik dan Ruang Lingkup

Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah menentukan topik dan ruang lingkup. Bayangin aja, kalau kamu nyari jurnal tanpa batasan, itu kayak masuk ke supermarket tanpa list belanja—kamu bakal bingung dan akhirnya bawa pulang barang yang nggak jelas.

Makanya, tentuin dulu tema utama. Misalnya kamu tertarik sama pembelajaran daring, ya fokus di situ. Jangan loncat ke topik lain yang nggak nyambung. Terus, kamu juga perlu kasih batasan temporal (misalnya penelitian 5 tahun terakhir) atau geografis (misalnya di Indonesia aja). Batasan ini bikin reviewmu jadi fokus dan nggak melebar ke mana-mana.

Contoh: “Review ini bakal fokus ke pembelajaran daring dalam konteks pendidikan di Indonesia dari tahun 2019 sampai 2024.”

Nah, kalau udah kayak gini, kamu punya panduan jelas buat nyari literatur yang relevan.

b. Mencari dan Menyeleksi Sumber

Langkah kedua, saatnya nyari sumber. Tapi jangan asal, bestie! Ingat, kualitas penelitianmu tergantung dari kualitas literatur yang kamu pakai. Gunakan database akademik terpercaya kayak Google Scholar, JSTOR, Scopus, atau ScienceDirect.

Terus, pastikan kamu pilih artikel yang peer-reviewed. Apa itu? Artikel yang sudah melalui proses penilaian oleh para ahli di bidangnya, jadi lebih bisa dipercaya. Bandingin deh, artikel blog random sama artikel peer-reviewed—pasti beda jauh tingkat kredibilitasnya.

Contoh: “Dalam pencarian ini, saya menemukan 50 artikel peer-reviewed tentang pembelajaran daring.”

c. Membuat Matriks Review

Nah, biar kamu nggak pusing sendiri pas udah ngumpulin banyak artikel, coba bikin matriks review. Anggap aja ini tabel ringkasan yang berisi informasi penting dari tiap artikel—judul, penulis, tahun, metode, hasil, dan catatan penting.

Matriks ini bakal jadi senjata rahasia kamu, karena dari sinilah kamu bisa dengan gampang membandingkan dan menemukan pola antar-penelitian. Percaya deh, kalau udah rapi kayak gini, analisis kamu nanti jadi lebih mudah.

Contoh: “Matriks review saya terdiri dari kolom judul, penulis, tahun, metode, dan hasil temuan.”

2. Teknik Analisis dalam Review Literatur

Nah, setelah kamu berhasil ngumpulin tumpukan artikel dan penelitian, jangan buru-buru lega dulu. Bagian paling krusial justru ada di sini: analisis. Tanpa analisis, review literatur kamu bakal kayak daftar belanja doang—cuma numpuk nama penulis dan judul penelitian tanpa nyambung jadi cerita. Yuk kita bongkar satu-satu teknik analisis yang bisa bikin riview literatur kamu makin berbobot!

a. Analisis Tematik

Pertama-tama, ada yang namanya analisis tematik. Ini tuh kayak kamu lagi nyusun playlist musik. Kamu nggak mungkin campurin lagu metal, dangdut, sama lo-fi jadi satu, kan? Sama halnya dengan literatur: kamu perlu ngelompokkan hasil penelitian berdasarkan tema biar gampang dicerna.

Misalnya, kamu lagi bahas tentang pembelajaran daring. Dari tumpukan artikel itu, pasti ada yang ngomong soal efektivitas, ada yang bahas tantangan, ada juga yang nawarin solusi. Nah, semua itu kamu kelompokin jadi tiga tema besar. Dengan cara ini, pembaca jadi bisa lihat pola umum yang muncul, nggak cuma baca review yang ngalor-ngidul.

Lebih dalam lagi, di setiap tema pasti ada subtema yang bisa digali. Misalnya, dalam tema “tantangan pembelajaran daring”, subtemanya bisa berupa masalah jaringan internet, keterbatasan fasilitas, atau kesiapan dosen. Analisis kayak gini bikin review literatur kamu detail dan nggak dangkal.

Selain itu, analisis tematik juga bisa bikin argumen kamu lebih meyakinkan. Karena kamu nggak cuma bilang “banyak penelitian setuju A”, tapi juga bisa menunjukkan bukti konsisten dari berbagai sumber yang saling melengkapi. Intinya, analisis tematik itu ibarat fondasi rumah—kalau kuat, bangunannya nggak gampang roboh.

Dan jangan lupa, dengan analisis tematik, kamu juga bisa memunculkan celah riset baru. Misalnya, kalau ternyata banyak penelitian ngomongin soal masalah jaringan, tapi nggak ada yang bahas tentang kesiapan mental mahasiswa, kamu bisa jadikan itu sebagai peluang penelitian.

b. Analisis Kronologis

Kalau kamu tipe orang yang suka liat perkembangan dari masa ke masa, analisis kronologis ini cocok banget buat dipakai. Teknik ini ngurutkan penelitian berdasarkan tahun biar kelihatan pergeseran fokus.

Contoh nyata: sebelum pandemi, topik pembelajaran daring mungkin cuma dibahas sekilas sebagai alternatif. Tapi begitu pandemi Covid-19 datang, semua penelitian langsung rame-rame ngomongin efektivitas daring. Dari sini bisa kelihatan banget pergeseran paradigma.

Analisis kronologis ini berguna buat nunjukin perkembangan tren riset. Kamu bisa lihat mana isu yang lagi panas, mana yang mulai ditinggalkan, dan mana yang muncul belakangan. Dengan begitu, pembaca ngerti bahwa penelitian nggak statis, tapi terus berkembang.

Selain itu, analisis kronologis juga ngebantu kamu buat ngehargain kontribusi tiap penelitian sesuai masanya. Jangan sampai kamu nganggep penelitian tahun 2010 itu ketinggalan zaman, padahal justru penelitian itu yang jadi pijakan penting buat riset terbaru.

Bahkan, teknik ini bisa bikin review literatur kamu punya “alur cerita”. Pembaca nggak cuma merasa lagi baca kumpulan ringkasan, tapi kayak lagi diajak jalan-jalan dari masa ke masa, ngikutin perkembangan topik tertentu. Seru kan?

Terakhir, kronologi ini juga bisa ngungkap kenapa sebuah fenomena baru muncul. Misalnya, kenapa tiba-tiba riset tentang hybrid learning meledak setelah 2021? Nah, dengan analisis kronologis, kamu bisa kasih jawabannya.

c. Analisis Metodologis

Kalau dua analisis sebelumnya lebih fokus ke isi, analisis metodologis ini lebih ngulik cara penelitian dilakukan. Jadi kamu bandingin metode yang dipakai tiap studi: ada yang pakai survei kuantitatif, ada yang wawancara kualitatif, ada juga yang campuran.

Kelebihan analisis ini adalah kamu bisa nunjukin tren metode riset. Misalnya, ternyata penelitian tentang pembelajaran daring lebih sering pakai kuantitatif. Tapi di sisi lain, penelitian kualitatif justru bisa kasih insight lebih mendalam. Dari situ, kamu bisa kasih evaluasi tentang kelebihan dan kekurangan tiap metode.

Kenapa penting? Karena dengan paham metode, kamu bisa ngeliat celah penelitian yang belum terjawab. Misalnya, kalau 90% penelitian pakai kuantitatif, berarti masih banyak ruang buat eksplorasi kualitatif. Nah, itu bisa jadi kontribusi unik kamu.

Selain itu, analisis metodologis bikin kamu kelihatan serius dan kritis. Kamu nggak cuma terima hasil penelitian mentah-mentah, tapi juga berani ngebandingin kualitas pendekatannya. Itu artinya kamu bukan sekadar pembaca pasif, tapi peneliti yang aktif mikir.

Intinya, analisis metodologis ini bikin review literatur kamu bukan cuma kaya data, tapi juga kaya refleksi kritis. Dan percayalah, dosen atau pembaca pasti bakal ngeliat kamu sebagai penulis yang punya “kelas” lebih tinggi.

3. Strategi Sintesis dalam Penulisan Review Literatur

cara membuat literatur review

Nah, banyak mahasiswa yang sering salah paham di bagian ini. Mereka kira review literatur itu cuma kumpulin ringkasan penelitian orang lain. Padahal, yang bikin review kamu keren itu adalah kemampuan menyintesis alias “meramu” hasil analisis jadi tulisan yang punya alur dan logika kuat. Yuk kita bedah caranya.

a. Gabungkan Temuan yang Sejalan

Kalau kamu nemuin beberapa penelitian yang hasilnya mirip atau sejalan, jangan ditulis satu-satu kayak daftar menu. Sintesis berarti kamu nyatuin temuan-temuan itu jadi satu kesimpulan besar.

Misalnya, ada tiga penelitian yang bilang pembelajaran daring efektif buat mahasiswa karena fleksibilitas waktu. Nah, kamu bisa gabungin jadi satu argumen: “Mayoritas penelitian menunjukkan bahwa fleksibilitas waktu menjadi keunggulan utama pembelajaran daring.”

Bedanya apa sama cuma ngerangkum? Bedanya, kalau ngerangkum kamu cuma bilang, “Penelitian A menyebut ini, penelitian B menyebut itu.” Tapi kalau menyintesis, kamu bikin kesimpulan gabungan. Ini kayak bikin jus dari berbagai buah: hasil akhirnya lebih enak daripada makan buahnya satu-satu.

Selain itu, sintesis kayak gini bikin tulisanmu ringkas tapi berbobot. Pembaca langsung ngerti poin utamanya tanpa harus tersesat di detail yang terlalu teknis.

b. Tunjukkan Kontradiksi

Nggak semua penelitian bakal sejalan, dan justru di sinilah letak menariknya. Kalau ada penelitian yang hasilnya bertolak belakang, jangan dihindari. Justru kamu harus kasih spotlight di situ.

Contoh: satu penelitian bilang mahasiswa lebih fokus belajar daring, tapi penelitian lain bilang justru banyak yang terdistraksi. Nah, kontradiksi kayak gini bisa kamu tulis dengan nada kritis: “Meskipun beberapa penelitian menemukan bahwa pembelajaran daring meningkatkan fokus mahasiswa, ada juga penelitian yang menunjukkan tingginya distraksi akibat gadget.”

Dengan nunjukin kontradiksi, kamu kasih sinyal ke pembaca bahwa kamu penulis yang objektif, nggak bias, dan mampu melihat masalah dari berbagai sisi.

Bahkan lebih jauh lagi, kontradiksi ini bisa kamu jadikan dasar untuk research gap. Karena ketika hasil penelitian nggak konsisten, artinya ada ruang buat penelitian baru.

c. Kaitkan dengan Kerangka Teori

Jangan sampai review literatur kamu terbang bebas tanpa landasan teori. Teori itu ibarat GPS: dia nunjukin arah dan bikin pembaca ngerti kenapa penelitian-penelitian itu relevan.

Misalnya, kamu pakai teori konstruktivisme dalam pendidikan. Nah, semua literatur tentang pembelajaran daring bisa kamu kaitkan ke teori ini: bagaimana mahasiswa membangun pengetahuan lewat interaksi online.

Dengan mengaitkan literatur ke teori, kamu bukan cuma kasih ringkasan hasil penelitian, tapi juga bikin tulisanmu punya dasar akademik yang kuat. Plus, ini bakal bikin dosenmu senyum-senyum karena jarang mahasiswa yang inget buat ngelakuin ini.

d. Buat Alur Cerita yang Runut

Bayangin review literatur kayak film. Kalau scenenya acak-acakan, penonton pasti bingung. Sama juga dengan tulisan. Jadi kamu harus bikin alur yang enak dibaca: mulai dari yang umum, masuk ke yang spesifik, lalu ke research gap.

Kamu bisa pilih alur tematik (per tema), kronologis (per waktu), atau metodologis (per pendekatan penelitian), tergantung mana yang paling sesuai. Yang penting, jangan bikin pembaca lompat-lompat.

Alur yang runut bikin tulisanmu enak dibaca dan gampang dipahami. Bahkan pembaca awam pun bisa ngikutin logika argumenmu.

e. Akhiri dengan Research Gap

Bagian paling ditunggu-tunggu dalam review literatur adalah research gap. Ini semacam “pintu masuk” buat penelitianmu. Jadi, setelah semua temuan kamu paparkan, kamu harus tunjukin di mana ada kekosongan, keterbatasan, atau hal yang belum banyak diteliti.

Misalnya: “Sebagian besar penelitian tentang pembelajaran daring berfokus pada efektivitas akademik, namun sedikit yang mengeksplorasi aspek kesehatan mental mahasiswa.” Nah, dari situ kamu bisa bilang, “Penelitian ini hadir untuk mengisi kekosongan tersebut.”

Research gap ini ibarat bendera “ini lho kontribusi unik saya.” Tanpa gap yang jelas, penelitianmu bisa dianggap cuma ngulang-ngulang yang sudah ada.

4. Kesalahan Umum dalam Review Literatur

a. Hanya Merangkum Tanpa Analisis

Kesalahan paling klasik: review literatur isinya cuma ringkasan panjang penelitian orang lain. Misalnya: “Penelitian A membahas X, penelitian B membahas Y.” Terus gitu aja kayak daftar isi.

Padahal review literatur harusnya analitis, bukan katalog penelitian. Kalau cuma dirangkum, pembaca (dan dosenmu) bakal mikir, “Lah ini bedanya sama laporan baca artikel apa?”

Cara menghindarinya: selalu tambahin interpretasi kamu. Bandingkan hasil penelitian, tunjukkan kesamaan, perbedaan, atau tren. Ingat, kamu bukan juru ketik, tapi analis.

b. Sumber Kurang Kredibel

Banyak mahasiswa asal comot sumber dari blog random, skripsi lama, bahkan Wikipedia. Padahal ini bahaya banget, soalnya bisa nurunin kredibilitas penelitianmu.

Review literatur itu harus pakai sumber akademik: jurnal terindeks (Scopus, Sinta, DOAJ), buku dari penerbit resmi, atau laporan penelitian yang valid.

Cara menghindarinya: selalu cek publisher, tahun terbit, dan reputasi penulis. Kalau sumbernya dari blog, pastikan minimal ditulis oleh pakar di bidangnya.

c. Nggak Update Literatur

Ada juga yang review literaturnya penuh dengan penelitian dari tahun 2000-an, padahal topiknya lagi panas dibahas sekarang. Akibatnya, penelitianmu dianggap ketinggalan zaman.

Cara menghindarinya: pastikan mayoritas referensi adalah 5–10 tahun terakhir, kecuali teori dasar yang memang klasik. Semakin up-to-date, semakin kelihatan kamu serius dan ngerti perkembangan riset terbaru.

d. Tidak Konsisten dalam Sitasi

Masalah teknis tapi sering kejadian. Ada yang pakai gaya APA di satu bagian, tapi di bagian lain berubah jadi IEEE. Atau, ada sitasi di teks tapi nggak masuk daftar pustaka.

Ini bikin tulisan jadi berantakan dan dosen bisa langsung potong nilai.

Cara menghindarinya: sejak awal, tentukan gaya sitasi (APA, MLA, Harvard, dll) dan pakai konsisten. Gunakan tools kayak Mendeley atau Zotero biar lebih rapi.

e. Tidak Menunjukkan Research Gap

Nah ini fatal banget. Review literatur tanpa research gap ibarat film tanpa ending. Kamu udah susun panjang-panjang, tapi nggak nunjukin alasan kenapa penelitianmu perlu dilakukan.

Cara menghindarinya: di akhir review, selalu simpulkan apa yang udah diteliti, apa yang belum, dan bagaimana penelitianmu bisa mengisi kekosongan itu.

Kesimpulan Cara Membuat Literatur Review

Nah, sekarang kamu udah paham kan kalau review literatur itu bukan sekadar formalitas di skripsi, tapi jantung dari keseluruhan penelitian. Dari awal nyari sumber yang kredibel, menyusun secara sistematis, sampai akhirnya menghubungkan ke kerangka teori dan hipotesis, semua langkah itu punya peran vital buat bikin penelitianmu kuat dan bisa dipertanggungjawabkan.

Banyak mahasiswa yang sering ngeremehin bagian ini, padahal justru dari sinilah penelitianmu bisa terlihat bedanya: apakah cuma copy-paste atau benar-benar punya nilai ilmiah. Dengan review literatur yang solid, kamu bisa tunjukin ke dosen dan pembaca bahwa kamu menguasai topikmu, ngerti konteks penelitian sebelumnya, dan tau persis di mana posisimu dalam percakapan akademik yang lebih luas.

Jangan lupa juga, review literatur itu ibarat “peta jalan.” Kalau petanya jelas, perjalanan risetmu nggak bakal nyasar. Tapi kalau asal comot teori tanpa alur, siap-siap aja dosen penguji kasih komentar pedas. Jadi, habiskan waktu untuk nyusun review literatur dengan rapi, biar hasil akhirnya bisa bikin skripsi kamu bukan cuma lolos sidang, tapi juga layak dijadikan referensi penelitian berikutnya.

Terakhir, anggaplah review literatur sebagai kesempatan buat kamu unjuk gigi: tunjukkan kalau kamu nggak cuma sekadar mahasiswa yang lagi nulis skripsi, tapi calon peneliti yang serius dan punya kontribusi nyata. Dengan begitu, penelitianmu nggak berhenti di meja dosen pembimbing, tapi bisa jadi bacaan berharga untuk orang lain.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Optimized by Optimole
Scroll to Top